Jepang mulai berkuasa di Indonesia sejak tanggal 8 Maret 1942. Akan tetapi setelah penguasaan tersebut, posisi Jepang di Pasifik sudah mulai terdesak oleh Sekutu. Untuk menarik dukungan penduduk di negara jajahan, Jepang merencanakan memberikan kemerdekaan kepada Birma dan Filipina. Rencana itu tidak menyebut nasib Indonesia. Oleh karena itu, Ir. Soekarno dan Moh. Hatta mengajukan protes kepada Jepang. Menanggapi protes dan ancaman dari tokoh-tokoh nasionalis di Indonesia, pemerintah Jepang kemudian menempuh kebijaksanaan partisipasi politik. Maksudnya, memberikan peran aktif kepada tokoh-tokoh Indonesia di dalam lembaga pemerintahan. Untuk itu diambil langkah-langkah sebagai berikut.
a. Pembentukan Dewan Pertimbangan Pusat (Chuo Sangi In)
b. Pembentukan Dewan Pertimbangan Karesidenan (Shu Sangi Kai)
c. Tokoh-tokoh Indonesia diangkat sebagai penasihat di berbagai departemen.
d. Pengangkatan orang-orang Indonesia ke dalam pemerintahan dari organisasi resmi lainnya.
Sebagai tindak lanjut dari rencana tersebut, maka pada tanggal 5 September 1943, Seiko Shikikan Kumakichi Harada mengeluarkan Osamu Seirei No. 36 dan 37 tentang pembentukan Chuo Sangi In dan Chuo Sangi Kai. Hal yang boleh dibahas san dirundingkan dalam Chuo Sangi In antara lain sebagai berikut.
a. Pengembangan pemerintahan militer
b. Mempertinggi derajat rakyat
c. Pendidikan dan penerangan
d. Industri dan Ekonomi
e. Kemakmuran dan bantuan sosial
f. Kesehatan.
Pada sidang pertama Chuo Sangi In, tanggal 17 Oktober 1943 dilantik secara resmi ketua Chuo Sangi In, yaitu Soekarno dan 2 orang wakil ketua, yaitu R.M.A.A. Kusumo Utoyo dan dr. Buntaran Martoatmojo. Anggota Chuo Sangi In boleh mengajukan usulan kepada Jepang, tapi semua keputusan tergantung pada pemerintah di Tokyo.
Pada tanggal 15 November 1943, delegasi Chuo Sangi In yang terdiri atas Ir. Soekarno, Moh. Hatta, dan Bagus Hadikusumo diundang ke Jepang. Pada kesempatan pertemuan dengan Perdana Menteri Tojo, delegasi Chuo Sangi In meminta agar Indonesia diizinkan mengibarkan bendera Sang Merah Putih dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, serta mendesak agar Indonesia dijadikan dalam satu pemerintahan. Permintaan ini ditolak Perdana Menteri Tojo.
Dalam tahun 1944, Jepang semakin terdesak didalam Perang Asia Timur Raya. Kemunduran pasukan Jepang dan masalah-masalah lain yang dihadapi menyebabkan jatuhnya Kabinet Tojo. Ia kemudian digantikan oleh Perdana Menteri Kuniaki Koiso pada tanggal 18 Juli 1944.
Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Koiso, situasi perang semakin memburuk. Kedudukan Jepang semakin terdesak. Untuk mendapatkan dukungan bangsa Indonesia dalam berbagai pertempuran, tanggal 7 September 1944 pada Parlemen Jepang ( Teikoku Gikei ) ke-85 di Tokyo, PM Koiso mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia akan diberi kemerdekaan kelak kemudian hari. Pernyataan ini kemudian terkenal dengan sebutan Janji Koiso.
No comments:
Write komentar